Thursday, September 9, 2021

BAB.PERNIKAHAN DALAM ISLAM

 PERNIKAHAN DALAM ISLAM


A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan.


1. Pengertian Pernikahan.


Nikah menurut bahasa  berarti  : berkumpul,menggabungkan atau menjodohkan.

Nikah menurut istila adalah : ikatan lahir batin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersma dalam suatu rumah tangga untuk mendapatkan keturunana yang dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam.

Menurut kamus bahasa Indonesia, nikah diartikan perjanjian antara laki laki dan perempuan untuk bersuami isteri dengan resmi.

Menurut syari'at, nikah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki laki dan perempuan bukan mahromnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing.

Nikah menurut Undan-undang Pernikahan RI ( UUPRI) Nomor 1 tahun 1974,Pernikahan adalah : ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang  Maha Esa.


2. Dasar Hukum Nikah dalam Islam.


Sumber hukum nikah dalam Islam adalah Al qur'an dan Sunnah Rasul.Banyak ayat Al Qur'an yang memberikan landasan dasar nikah,serta mengatur tata hubungan suami isteri.


Q.S. An Nisa : 1

Q.S. Ar Rum : 21


Rosululloh saw juga menjelaskan tentang nikah,


 (silahkan baca Buku Pendikan Fikih Kelas XII pinjam perputakaan)



3. Hukum Nikah.


Ada kesepakatan ahli fikih bahwa hukum nikah tidak sama penerapannya kepada semua mukallaf,melainkan disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan masing-masing, baik secara ekonomi,fisik,maupun mental. Oleh sebab itu hukum nikah bagi orang  tertentu bisa wajib,sunnah,mubah,makruh, bahkan haram.

a. Hukum nikah wajib : bagi orang yang telah mampu secara fisik,mental,ekonomi ,maupun akhlak untuk melakukan pernikahan,mempunyai keinginan untuk nikah dan jika tidak menikah dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat seperti zina,maka wajib baginya untuk menikah.

b. Hukum nikah sunah bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk menikah namun tidak dikhawatirkan jatuh kepada maksiat. Dalam kondisi seperti ini seorang boleh nikah dan boleh tidak nikah.

c. Hukum nikah mubah : bagi orang yang mampu,aman dari fitnah,tetapi tidak memiliki syahwat,seperti orang impoten.

d. Hukum nikah haram : bagi orang yang memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak akan mampu melaksanakan kewajibannya, seperti tidak mampu memenuhi kewjibannya sebagai suami.

e. Hukum nikah makruh : bagi orang yang mampu nikah tetapi khawatir akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya atau mendzalimi hak-hak istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam memenuhi hak-hak manusia.


Munakahat ( Pernikahan dalam Islam )

 A.     Pengertian Munakahat

Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut bahasa Indonesia, nikah artinya bersatu atau berkumpul. Dalam istilah syariat, nikah artinya melakukan akad nikah atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka sama suka demi terwujudnya rumah tangga yang bahagia, yang diridoi oleh Allah SWT.

 B.     Dalil Nikah

Allah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasang-pasangan.

Firman Allah SWT:

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.(Q.S. Az-Zariyat (41) : 49)

Secara khusus pasangan itu disebut alko-laki dan perempuan.

Firman Allah SWT: “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan nerpasan-pasangan laki-laki dan perempuan. (Q.S. An-Najm (53) :45)

Laki-laki dan perempuan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak.

Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu;dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(Q.S. An-Nisa (4) : 1)

Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.

Firman Allah: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Q.S. Ar-Rum (30) : 21)

 C.     Tujuan Munakahat

1.      Untuk mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya

2.      Untuk memperoleh hidup yang tentram dan bahagia (sakinah, mawadah, dan warohmah)

3.      Untuk  keselamatan diri sendiri, keluarga, keturunan, dan masyarakat.

4.      Untuk memelihara kebinasaan hawa nafsu.

5.      Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang.

6.      Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridoi Allah SWT.


 D.     Hukum Munakahat

Perkawinan adalah ibadah yang dianjurkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Banyak perintah Allah dalam Al-quran agar melaksanakan perkawinan.Firman Allah SWT: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yanglayak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S. An-Nur (24) : 32)

Ditinjau dari segi kondisi orang yang akan menikah, hukum nikah sebagai berikut:

1.      Sunnah, artiya bagi orang yang ingi menikah, mampu nikah, mampu mengendalikan diri dari perzinahan, tetapi tidak ingin menikah.

2.      Wajib, artinya bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zinah jika tidak segera menikah.

3.      Makruh, artinya bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya.

4.      Haram, artinya bagi orang yang ingin menikah, tujuannya yang hanya menyakiti istrinya.

 E.     Rukun Munakahat

Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul.

1.      Ada calon suami, syarat: laki-laki, dewasa, islam, kemauan sendiri, tidak sedang ihram, haji atau umroh, dan bukan muhrimnya.

2.      Ada calon istri, syarat: perempuan, cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan pernikahan dengan orang lain, bukan muhrim, dan tidak ihram haji atau umroh.

3.      Ada wali nikah: Wali nikah adalah orang yang mengijinkan pernikahan.

Macam-macam wali nikah dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1.      Wali nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun urut-urutan wali nasab sebagai berikut.

1)      Ayah kandung

2)      Kakek(ayah dari ayah)

3)      Saudara laki-laki sekandung.

4)      Saudara laki-laki seayah.

5)      Saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah.

2.      Wali hakim, yaitu kepala Negara yang beragama islam, menteri agama, kepala KUA. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila:

 Wali nasab benar-benar tidak ada, sedang ihram, haji atau umroh, menolak sebagai wali, masuk penjara dan hilang.

Wali yang lebih dekat tidak memenuhi syarat, berpergian jauh, tidak memberi kuasa terhadap wali nasab, dan wali yang lebih jauh tidak ada.

1)      Ada saksi, syarat: islam,laki-laki, dewasa, berakal sehat, dapat berbicara,  mendengar, dan melihat, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.

2)      Ada kata-kata ijab dan qabul.

Ijab, artinya ucapan wali dari pihak mempelai wanita, sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabul, artinya ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Alam ijab qabul,suami wajib member mahar(mas kawin).

 F.      Syarat-syarat Munakahat

Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :

·         Persetujuan kedua belah pihak,

·         Mahar (mas kawin),

·         Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.

Muhrim

Menurut bahasa, muhrim artinya diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim artinya wanita yang haram dinikahi. Sebab-sebab wanita haram dinikahi, karena:

             Keturunan

·         Ibu kandung

·         Anak kandung

·         Saudara perempuan dari bapak

·         Saudara perempuan dari saudara laki-laki.

·         Saudara perempuan dari saudara perempuan.

·         Hubungan sesusuan

·         Ibu yang menyusui

·         Saudara perempuan sesusuan

·         Perkawinan

·         Ibu dari istri (mertua)

·         Anak tiri

·         Ibu tiri (istri dari ayah). Allah berfirman yang artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini ayahmu. (QS.An-Nissa:22)

·         Menantu (istri dari anak laki-laki)

·         Mempunyai pertalian muhrim dengan istri.

Mahar dalam pernikahan

Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal.

Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar

adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang

dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.

Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya. Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi

sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.

Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral. Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri.

Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran

sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia

tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan

mengganggu status perkawinannya.


Mahar Dengan Mengajar Al-Quran

Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.

Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’ di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka, melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.

Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan diterimanya.

Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama

Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.

Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.

Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.

Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan. Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.

Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami

mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami

menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.

Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.” Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu. Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri. Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.

Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.

 G.    Kewajiban dan Hak Suami dan Istri

1.                 Kewajiban Suami

·         Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal.

·         Berlaku adil, sabar terhadap istri dan anak-anaknya.

·         Memberi penuh perhatian terhadap istri.

·         Hormat dan bersikap baik kapada keluarga istri

2.                    Kewajiban Istri

·         Taat kepada suami sesuai dengan ajaran Islam.

·         Menerima dan menghormati pemberian suami sesuai kemampuannya.

·         Memelihara diri kehormatan dan harta benda suami.

·         Memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak agar menjadi saleh/saleha.Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.

·         Hormat kepada suami dan keluarganya.

3.              Hak Suami dari Istri

·         Mendapat penghormatan dan kasih sayang.

·         Mendapat pelayanan yang menyenangkan.

·         Mendapat dorongan dan bantuan dari istri.

·         Memperoleh keturunan dari istri.

·         Memperoleh kebahagiaan dari istri.

4.              Hak Istri dari Suami

·         Memperoleh nafkah baik lahir dan batin

·         Memperoleh perlindungan dari suami.

·         Memperoleh ketenangan dan kedamaian dari suami.

·         Memperoleh cinta kasih dan sayang.

·         Memperoleh kehangatan dan kebahagiaan dari suami.

 H. Hikmah Munakahat

Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan di ridoi Allah SWT untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah.

1)      Melalui pernikahan kita dapat menyalurkan naluri kebapakan bagi laki-laki dan naluri keibuan bagi wanita.

2)      Melalui pernikahan, suami istri dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.Melalui pernikahan, suami istri dapat membagi rasa tanggung jawab yang sebelumnya dipikul oleh masing-masing pihak.

3)      Pernikahan dapat pula membentengi diri dari perbuatan tercela.

4)      Pernikahan merupakan sunah Rasulullah saw.


HIKMAH PERNIKAHAN


TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM 


1.. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam. 

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan. Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1] 

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut: الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229] Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas: فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230] 

Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.

 a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius. Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ 

“ Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat : 13] 

Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:


 تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

 

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.”

 Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat. Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? 

Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:


 الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ


 “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur : 26] 

b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:


 فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ 

“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…” [An-Nisaa’ : 34]

 Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.

[3] Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” 

[4] Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 


خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ. 

“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.”

 [5] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:


 أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ. 


“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” 

[6] Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah : 1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, 2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya, 3. Menjaga shalat yang lima waktu, 4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, 5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7] 6. Berakhlak mulia, 7. Selalu menjaga lisannya, 8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan, 9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya, 10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan, 11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at. Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat. 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


 …وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ. 


“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” [8] 5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:


 وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ 

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72] 

Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla: وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187] Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9] Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar. Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.


HIKMAH PERNIKAHAN



Nikah disyariatkan oleh Alloh Swt melalui Al Qur'an dan Sunnah Rosul-Nya mengandung hikmah, diamtara :

1. Terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam ikatan suci yang halal dan di ridhoi Alloh swt.

2. Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.

3. Terpeliharanya kehormatan suami isteri  dari perbuatan zina.

4. Terjalinnya silaturahim antar keluarga besar pihak suami dan isteri.


Talak dan Rujuk

Talak dan Rujuk.

Tujuan nikah adalah membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah yang berlaku selama hidup. namun dalam perjalanan hidup manusia kadang-kadang terjadi sesuatu tantangan dan permasalahan yang dapat mengganggu ikatan pernikahan,bahkan memutuskannya. Tetputusnya ikatan perniakahan yang sah dikenal dengan talak (perceraian). Ketika terjadi talak, dimungkinkan untuk bersatu kembali dengan ketentuan tertentu yang disebut rujuk.

1. Pengertian Talak dan Rujuk.

Talak berasal dari kata thalaqa yang berarti melepaskan dan meninggalkan.

Talak secara istilah,talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan sebagai suami isteri. 

Talak boleh dilakukan apabila didapati penyebabnya yang dibenarkan oleh ketentuan Islam.

Meskipun talak merupakan perbuatan yang diperbolehkan, namun sangat tidak disukai (dibenci ) oleh Alloh swt.

Apabila seorang istri ditalak suaminya , maka terputuslah hubungan suami istri dan hubungan keduanya berubah statusnya, bukan suami isteri lagi.

Apabila suatu saat suami yang yang telah menceraikan istinya dapat rujuk kembali (Rujuk) kepada istri yang telah ditalaknya. Rujuk berasal dari kata raja'a yang berarti kembali .

Menurut istilah rujuk adalah bersatunya kembali seorang suami kepada isteri yang telah dicerai sebelum habis masa menunggunya ('iddah).

Rujuk hanya boleh dilakukan didalam masa ketika suami boleh rujuk kembali kepada isterinya (talaq raj'i) yakni diantara talak satu atau dua.


No comments:

Post a Comment